Search This Blog

Monday, February 13, 2012

AFTER THE SUNSET (Part 2)

7 tahun yang lalu…

Di dalam sebuah ruangan kelas berisi banyak murid kelas dua yang sedang memegang alat musik. Murid-murid ini tergabung dalam sebuah brass band sekolah dan sedang berlatih untuk mengisi pertandingan baseball di sekolah. Meski sudah kelas dua, ini adalah kali pertama mereka bermain di acara tahunan sekolah. Keiko tergabung dalam brass band.

Keiko sedang menyesuaikan nada dari alat musik trompet yang dipegangnya. Ketika ia sedang asik memainkan nada-nada, temannya masuk ke dalam kelas dan terlihat panik.

“Gawat, salah satu personil di grup perkusi mengalami kecelakaan dan ia tidak mungkin bisa ikut latihan hingga hari H!”

Seketika murid-murid jadi ikut panik. Dalam 2 minggu ke depan brass band harus sudah siap tampil. Di tengah kepanikan teman-temannya, Keiko mencoba menenangkan mereka dengan berkata, “Kita harus cari penggantinya.” Ya, ini bukan hal yang bisa membuat teman-temannya tenang. Keiko segera bangkit dari kursinya, beranjak dari ruangan dan menuju ke ruangan lain.

Keiko melihat murid pria yang sedang sendiri membaca komik di kelasnya. Ketika itu memang sudah waktunya sekolah usai dan murid pria ini masih berada dalam kelas. Dengan pikiran yang juga agak kalut, Keiko menghampiri murid pria itu. Murid pria itu adalah Tomoya.

“Hey,” panggil Keiko dari dekat dan Tomoya menatap Keiko.
“Ayo ikut bermain dengan kami,” Keiko menyodorkan sepasang stik perkusi yang dibawanya dari ruang musik. “Mainkan perkusi untuk brass band sekolah.”

Tomoya yang masih mencerna perkataan Keiko hanya diam. Namun Keiko langsung menarik tangannya dan menuju ke ruang musik bersama dengan Tomoya.

Sesampainya di ruang musik, Keiko mengantarkan Tomoya ke arah snare drum dan memberikan stik drum kepada Tomoya. Tanpa basa-basi, Keiko berkata, “Ayo kita latihan,” dan tersenyum, lalu kembali ke posisinya sambil mengambil trompet yang ia letakkan di kursinya. Kemudian mereka melakukan latihan sesuai dengan instruksi. Tomoya juga tidak terlihat kesulitan berada di posisinya. Latihan pun berjalan lancar hingga petang.

Dengan berbekal latihan yang intensif, kelompok brass band sekolah dapat mengiringi kemenangan tim baseball sekolah mereka. Tidak hanya itu, selama latihan berlangsung, Keiko dan Tomoya semakin dekat, karena dalam kelompok brass band, hanya mereka berdua yang satu kelas. Setiap selesai jam sekolah, mereka selalu bersama ke ruangan musik dan saling berbagi cerita apapun. Bahkan mereka menjadi lebih mengenal satu sama lain, dalam hal sekolah, brass band, maupun pribadi. Tomoya pun kaget ketika ia mengetahui bahwa Keiko ahli dalam memperbaiki drum kit yang rusak. Ia melihatnya sendiri ketika Keiko menawarkan diri untuk memperbaiki snare drum nya.

“Aku tidak pernah menyangka kalau kau bisa memperbaikinya.”
“Sebenarnya aku sangat menyukai perkusi, tapi jika aku bermain perkusi, aku tidak akan terlihat kawaii.”

Kalimat candaan Keiko kepada Tomoya memecah suasana. Kedekatan mereka telah menimbulkan perasaan yang lain. Tidak hanya perasaan sayang untuk seorang teman, tapi juga cinta.

Kebersamaan mereka berlanjut tanpa adanya pengakuan cinta. Hingga akhirnya mereka menyelesaikan sekolah dan lanjut ke universitas.

Keiko dan Tomoya menyempatkan diri untuk pergi ke pantai di sore hari. Mereka berjalan menyusuri pantai. Kaki mereka dihempas ombak yang berdatangan berulang-ulang. Lima menit, sepuluh menit, mereka hanya diam. Tomoya berjalan di depan Keiko dan Keiko menyamakan langkah kaki Tomoya dari belakang. Mereka menjinjing alas kakinya masing-masing.

Langit jingga sore itu sebenarnya menggambarkan suasana romantis, apalagi ditambah dengan burung-burung laut yang mengisi keheningan mereka berdua. Keiko merasa bahwa sekarang mungkin adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. Tomoya pun merasakan hal yang sama.

“Tomoya… apa kau benar-benar akan pindah ke Tokyo?” Keiko memecah keheningan yang romantis tapi penuh ketegangan.
“Iya. Aku akan meneruskan pendidikan ke sekolah teknik,” jawab Tomoya tanpa menghentikan langkahnya.
Namun, kali ini tidak diikuti oleh langkah Keiko. Keiko berhenti, menatap Tomoya dari belakang.

“Ganbatte ne, Tomoya…” ucap Keiko dengan lembut. Merasa bahwa Keiko tidak lagi berjalan, Tomoya berhenti dan langsung membalikkan tubuhnya ke arah Keiko. Tomoya melihat Keiko tersenyum dan ini membuatnya juga tersenyum. Dengan jarak yang agak jauh, Tomoya pun bertanya pada Keiko tentang rencananya.

“Bagaimana denganmu?”
“Aku akan terus di sini, di Hyogo. Aku tidak akan pergi kemana-mana,” Keiko menjawab dengan nada yang ‘memaksakan untuk terlihat biasa aja’.
“Ganbatte!” Tomoya memberi semangat kepada Keiko.

Itu adalah kata terakhir Tomoya untuk Keiko sebelum ia pergi ke Tokyo. Dan… mereka tidak mengatakan apapun tentang perasaan mereka masing-masing.

Keiko sengaja tidak mengantar kepergian Tomoya, tetapi dia malah datang ke kedai ramen paman angkatnya di hari Tomoya pergi.
“Kau yakin tidak mengantarnya?” Tanya paman. Keiko menggeleng.

“Aku tidak ingin melihatnya pergi…”


To be continued....

No comments:

Post a Comment