Search This Blog

Thursday, January 14, 2010

Pluralitas dan Pluralisme, Berbeda dan Memang Benar-Benar Berbeda!


Masih teringat di otak kita mengenai kepergian mantan Presiden RI yang ke-4 pada tanggal 30 Desember 2009 yang lalu. Masih teringat pula bagaimana berdukanya sebagian besar masyarakat Indonesia ketika itu. Gus Dur, begitulah almarhum dipanggil sehari-harinya. Pria kelahiran Jombang, 7 September 1940, dikenal sebagai Bapak Pluralisme di Indonesia. Label sebagai pelopor pluralisme di Indonesia membuat almarhum dielu-elukan oleh banyak orang, di berbagai lapisan dan berbagai agama. Beliau juga yang membebaskan agama Kong Hu Cu berkembang di Indonesia hingga menjadi agama yang resmi. Ya, jasa almarhum memang terbilang banyak, di samping celoteh-celotehannya yang 'nyeleneh', namun almarhum begitu banyak dikagumi oleh rakyat Indonesia. Pada tulisan kali ini saya tidak akan membicarakan jasa-jasa almarhum yang banyak karena saya pikir tidak akan sanggup juga saya menuliskannya karena terlalu banyak. Saya akan membahas mengapa konsep pluralisme yang diangkat almarhum sangat disanjung dan dipuji oleh banyak orang, tidak terkecuali bagi yang beragama Islam.

Saya akan mengajak Anda flashback sejenak ke zaman Rasulullah saw., ketika beliau pertama kali membangun sebuah negara di Madinah. Ketika itu madinah terdapat tiga kelompok penduduk, anshar dan muhajirin, munafikin, dan yahudi. Karena keberagaman yang ada di negaranya, Rasul ingin mempersatukan ketiga kelompok ini untuk menjaga keutuhan Madinah. Maka dibuatlah sebuah perjanjian yang disebut Piagam Madinah yang isinya berupa kesepakatan bersama dalam menjaga persatuan di Madinah. Sayangnya, dari pihak Yahudi telah melanggar isi perjanjian. Bani Qainuqa merasa kesal atas kemenangan umat Islam dalam Perang Badar, sehingga salah seorang dari mereka membunuh wanita Muslimah saat sedang berbelanja, maka seorang warga Muslim membunuh orang Yahudi itu, dan serta merta warga Yahudi membunuh Muslim itu, karena itu Rasulullah saw. mengusir mereka. Demikian pula Bani Quraidhah yang berkali-kali melanggar janji dan banyak menimbulkan kejahatan di kalangan kaum Muslimin. Sementara Bani Nadhir bersekongkol dengan warga kafir dari luar Madinah untuk menyerang Madinah, padahal dalam perjanjian mereka harus mempertahankannya, sampailah terjadi perang Ahzab atau Khandak tahun ke-5 H, sehingga mereka pantas diusir.
Pengusiran warga Yahudi dari Madinah bukanlah karena faktor keagamannya, tetapi karena pengkhianatannya terhadap perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Maka, jelaslah bahwa di dalam negara Islam terbukti bahwa hak-hak non-Muslim dalam menjalankan keyakinannya terjaga selama mereka tidak mengganggu dan mengusik ketenteraman warga Muslim. Sedangkan para pelanggar memang pantas dihukum tanpa melihat agamanya. Dengan demikian, jelaslah bahwa pluralitasdi masyarakat Madinah di masa Nabi saw. sangat terjaga, apalagi hal itu diikat oleh perjanjian, yang warga Muslim dilarang melanggar perjanjian sama sekali.(Al-maidah:1, At Taubah:4)
 Konsep pluralitas yang dibawa Rasulullah terbukti memberikan kebebasan bagi pemeluk agama lain dalam menjalankan agamanya. Dan konsep ini sangatlah berbeda dengan konsep pluralisme. Ada yang menyatakan bahwa konsep pluralisme yang dibawa Gus Dur maksudnya adalah semua agama dipandang Gus Dur sebagai pemersatu ideologi NKRI. Nah, yang menjadi masalah, belum tentu semua yang mengusung pluralisme memiliki definisi yang sama dengan alamrhum. Dalam arti secara harfiah, pluralisme adalah menjunjung tinggi perbedaan dan toleransi di atas segalanya. Kalau sudah begitu, lantas aqidah dikebelakangkan? Pluralisme juga ada yang mengartikan sebagai Sinkretisme yaitu semua agama dianggap sama, sama-sama menyembah Tuhan, dalam artian Tuhan ada banyak, kalau agama di Indonesia sekarang ada 6, berarti Tuhan juga ada 6.  Pengertian yang terakhir ini adalah yang paling membahayakan, sangat bertentangan dengan al-Qur'an (Al Ikhlas:1-4). Pengertian-pengertian umum ini bisa saja dimanfaatkan oleh agama lain untuk menyebarkan ajaran mereka di atas nama toleransi dan 'persamaan'. Menurut saya, sebagai seorang Muslim, sangatlah berbahaya jika pluralisme diteruskan di Indonesia tanpa diimbangi dengan pemahaman umat Islam mengenai pluralisme, pluralitas, dan keimanan itu sendiri.

Bukan berarti Islam tidak bertoleransi dan tidak mengakui keberagaman. Islam sangat dianjurkan untuk menjunjung tinggi toleransi, persaudaraan, dan keberagaman, tetapi hal ini semata-mata dilakukan karena aqidah. Aqidah selalu menjadi yang terdepan dalam kehidupan. Tidak ada yang namanya toleransi aqidah, tidak ada yang namanya keberagaman aqidah. Aqidah yang benar ya cuma satu, Islam! Rasulullah pun memiliki rasa toleransi yang sangat tinggi. Betapa tinggi sifat itsar (mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi) beliau kepada umat non-muslim, menganggap semua agama sebagai saudara, tetapi aqidah beliau tetap kuat dan tetap istiqomah berdakwah. Dan sikap seperti itu yang harus dimiliki oleh umat Islam sekarang. Aqidah kuat, toleransi jalan. Bukan berarti Islam itu fanatik terhadap agama, Islam tidak seperti itu, Islam bukan individualis.

Sebagai seorang Muslim, saya sangat menentang adanya konsep pluralisme..
wallahu alam bishshowab..

No comments:

Post a Comment