Search This Blog

Monday, November 9, 2009

Catatan Para Pejuang Perang Surabaya 10 Nopember 1945


Belum lama kami merasakan apa yang disebut dengan 'kemerdekaan'. Ya, kata-kata itu menggugah kami untuk terus mempertahankannya agar dapat diwariskan ke generasi penerus kami. Dengan peluh dan darah, kami merebutnya dari tangan penjajah, agar tanah air kami segera mendapatkan kedaulatannya sebagai negara. Tak rela kami menyaksikan tanah air kami jatuh ke tangan-tangan kotor itu. Ketika itu, kami bersemangat untuk melucuti pasukan Jepang yang masih ada di Indonesia. Kami bersama rakyat melucuti mereka, meskipun terjadi banyak bentrokan dan korban yang jatuh akibatnya. "Mumpung pihak sekutu belum mengambil alih pelucutan ini", pikir kami.


Tak lama, pihak sekutu pun datang ke tanah air. Mereka pun melucuti tentara Jepang, membebaskan tahanan mereka, dan mengembalikannya ke negara asal. Di Surabaya tepatnya, Inggris tiba di sini dari Jakarta dipimpin oleh Brigadir Jenderal Mallaby. Hal yang wajar ketika tak nampak sama sekali konspirasi yang terjadi dibalik kedatangan pasukan sekutu. Sebuah konspirasi yang akan mengancam kedaulatan Indonesia yang kemerdekaannya baru seumur jagung. Adanya kepentingan Belanda di belakang pendaratan pasukan sekutu adalah untuk menguasai kembali tanah air kami. Padahal Indonesia sudah merdeka. Memang aneh, tetapi itulah yang terjadi.

Kami, atas nama rakyat Indonesia, marah besar atas adanya konspirasi tersebut. Kami meutuskan untuk kembali berperang melawan sekutu untuk mempertahankan kemerdekaan tanah air kami. Tak peduli siapa mereka, yang penting kami bisa merdeka. Tak ada rasa takut pun menyelimuti benak kami, meskipun mereka memiliki senjata yang lebih canggih dibandingkan dengan bambu runcing kami. Tetapi kami bangga dengan ini, bangga dengan apa yang kami miliki asal kami tak hanya diam melihat penjajah di depan kami. Hasilnya, Jenderal Mallaby terbunuh, terbunuh karena perjuangan mati-matian kami.

Ultimatum pun datang dari Mayor Jenderal Mansergh yang menggantikan Mallaby. Ia berkata bahwa kami harus menyerahkan diri sampai batas akhir tanggal 10 Nopember 1945 jam 06.00. Tak ada kata menyerah dalam kamus perjuangan kami. Menyerah itu sama dengan mati! Kami harus merdeka! Tak ada tawar-menawar soal itu! Perlawanan kami semakin membara pada saat itu, apalagi ketika Pak Sutomo (Bung Tomo)  berpidato di depan kami semua. Hati ini terasa makin terbakar oleh semangat menegakkan kemerdekaan. Dengan tiga kali takbir dan pekikan kata 'merdeka' itulah yang melenyapkan rasa takut kami. Berangkatlah kami ke medan tempur itu dan tentu saja, masih terngiang di telinga kami semangat Pak Tomo.

Kami tak lelah bertempur. Tiga hari perang yang sekutu kira akan bisa melemahkan perjuangan kami terpatahkan. Sebulan kami berperang dengan mereka, meskipun pada akhirnya Surabaya yang kami jaga hidup dan mati jatuh ke tangan sekutu. Tentunya, masih ada perasaan sakit yang lebih sakit dari luka-luka di sekujur badan kami. Dan perjuangan kami tak hanya terbelenggu di Surabaya saja. Teman-teman kami di daerah lain pun meneruskan perjuangan kami. Terima kasih, dari lubuk hati kami yang paling dalam. Kami ingin kembali berjuang untuk Indonesia. Tanpa memperdulikan apakah jabatan yang diberikan jika menang, berapa imbalan yang akan kami terima, kami tak pernah peduli. Tanah air kami lebih berharga bagi kami.

Seandainya kami dapat bereinkarnasi ke saat ini, sungguh kami ingin segera mengusir penjajah-penjajah yang tampak maupun yang terselubung. Karena kami tahu, Indonesia akan selalu menjadi incaran Inggris, Belanda, terlebih lagi Amerika. Kami tak ingin berbaik hati apalagi menjilat para penjajah itu agar tidak menjajah kami. Kami tentu akan melakukan perlawanan secara terang-terangan, siapapun yang mengusik kemerdekaan kami, kami siap meneriakkan di depan mereka 'MERDEKA ATAU MATI'.

Entahlah..apa mungkin ini salah kami karena mati terlalu cepat sehingga warisan kemerdekaan hakiki itu tak tersampaikan di zaman sekarang. Jika boleh kami sombong, kami akan mengatakan bahwa sudah berliter-liter darah yang kami berikan untuk negeri ini, namun mengapa darah-darah kami sama sekali tak terbercak di tanah hati semua penduduk Indonesia. Darah perjuangan yang kami relakan sampai habis hingga penjajah pergi. Mengapa ketika mereka datang kembali engkau malah mengeluarkan senyum ramah dan sopan santun terhadapnya? Padahal engkau jelas-jelas tahu mereka penjajah, jelas-jelas banyak yang mengingatkan engkau bahwa mereka penjajah. Kami pun tidak tahu apa yang harus kami perbuat lagi. Karena kami pun tidak berada di dunia yang fana lagi. Catatan ini kami tulis bersama-sama di surga, bersama Bung Tomo, Pak Sudirman, dan pahlawan-pahlawan yang telah berjuang. Semoga catatan ini terkirim, terbaca, dan direnungkan oleh seluruh rakyat Indonesia...


Nurida Ekarini
Departemen Pengembangan Masyarakat
KAMMI Komisariat IT Telkom

No comments:

Post a Comment